Rintis Ekosistem Digital Di Kaki Gunung Kawi
- ano
- 04 Oktober 2020
Kira-kira sepekan lalu, Fatwatul, 21 tahun dan Reny Meiningsih, 21 tahun, berboncengan menuju gerai operator jasa kurir. Siang itu berdua mereka berangkat dari rumah tinggal di kaki gunung Kawi. Tepatnya di dusun Krajan, Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Mereka membawa tiga paket pesanan kopi. Dua paket dipesan pembeli yang beralamat di Surabaya dan Jakarta. Satu lagi, langsung diantar ke alamat pemesan, di daerah Janti, Malang. Reny, putri keempat pasangan Daseri dan Miseni. Sedangkan sang ibu, Miseni seorang pedagang sayur. Saban malam, sekitar pukul 23.00 WIB, berangkat membawa hasil panen dari petani setempat. Komoditas pertanian, dijual di pasar Kebalen, Kota Malang. Sekitar pukul 08.00 WIB, ketika matahari telah memancarkan sinarnya, Bu Miseni pun pulang. Dua generasi ini memiliki kesamaan, sekaligus perbedaan. Mereka sama-sama turun dari desanya yang berada di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (m.dpl), menuju Kota Malang. Mereka juga sama-sama membawa hasil bumi dari desanya. Bedanya, Reny dan Fatwatul, membawa produk hasil panen petani yang sudah diolah dan dikemas. Diantar menuju nama dan alamat pemesan yang bertransaksi secara daring (online). Mereka adalah anggota pengurus Kelompok Tani Kopi Republik Tani Merdeka (RTM) Desa Kucur, Malang. Reny dan Fatwatul, pemudi desa Kucur yang telah memasuki ekosistem perdagangan daring lewat jejaring virtual. Demi memperkuat pemahaman ekosistem ekonomi digital, digelar Pelatihan Pemasaran Digital di Balai Desa Kucur, 4 Oktober 2020. “Kita tidak perlu bertemu, bertatap muka langsung. Kita juga tidak membutuhkan toko, dan biaya sewa tempat. Kita hanya butuh foto dan tulisan yang menarik untuk diunggah,” Erica Adriana, MM., menuturkan keunggulan pemasaran digital lewat teknologi internet atau secara online. Pengampu mata kuliah manajemen pemasaran, program studi Manajemen, Universitas Ma Chung, Malang, ini menjelaskan istilah yang lazim dalam pemasaran online. Jika berjualan, biasanya membutuhkan tempat yang strategis. Misalnya, toko, ruko atau kios. Dalam dunia pemasaran digital, dikenal tempat berjualan secara virtual, namanya marketplace. “Di marketplace itu kita bisa nunut jualan di sana. Di samping itu, kita juga bisa menawarkan lewat media sosial. Bisa lewat grup chat. Selain itu, kita juga bisa memiliki toko sendiri lewat website. Semacam toko yang memiliki alamat sendiri dalam dunia virtual,” ujar Erica memaparkan konsep pemasaran secara virtual. Dalam menjalankan pemasaran virtual, lanjut Erica, perlu strategi pemasaran. Dalam dunia pemasaran, penjualan adalah hal yang paling akhir. Justru perencanaan harus dilakukan paling awal. “Kita perlu merencanakan kelompok sasaran, kira-kira produk kita siapa yang akan mengonsumsinya. Berapa harga yang pas. Dengan cara apa saja kita perlu mengenalkan produk kita,” katanya di hadapan 25 pelaku usaha di Desa Kucur. Setelah menemukan kelompok sasaran itu, kata Erica, lantas dipilih bahasa yang sesuai, tema aktual yang mendekati gaya hidup mereka. Kegiatan mereka merupakan bagian dari manajemen konten. Artinya, perlu mengelola materi pemasaran di media virtual yang kita pilih. Mulai dari pembuatan kalender konten. Yaitu menyangkut penentuan topik utama, topik penunjangnya agar lebih berwarna, dan tidak monoton. “Selain dalam bentuk tulisan, materi unggahan kita perlu banget didukung foto yang menarik. Kita bisa membuat foto produk sendiri. Gak perlu punya studio foto sendiri. Salah satunya, kita bisa mengambil foto produk kita di saat pagi hari sekitar jam Sembilan. Sinar mataharinya, bagus buat ambil gambar. Pas banget.” Dalam seminggu, kita rencana mengunggah dua kali materi konten. Satu konten yang mengembangkan wawasan bersifat edukatif. Kemudian disusul, konten yang bersifat hiburan atau informasi mengenai produk. Karena kita gak bisa secara terus-menerus bilang, “belilah, belilah…orang lama-lama bosen juga,” katanya. Model seperti itu namanya strategi pemasaran hard-selling. Orang bisa jengah. Baru buka konten kita, langsung muncul ‘belilah’. Sehingga perlu pintar merayu calon pembeli, dengan soft-selling. “Kita bisa pakai cerita-cerita lucu yang menghibur. Sehingga mereka kerasan mampir ke website atau akun media sosial untuk informasi penunjang. Sehingga konsumen tahu lebih banyak mengenai produk kita,” katanya. Erica mengingatkan dalam pemasaran daring, pengelolaan konten cukup penting. Namun kita bisa mempelajari dengan metode ATM. Yakni Amati, Tiru, dan Modifikasi. “Gak apa-apa kita sekadar browsing melihat tema konten promosi yang sudah ada, milik brand besar. Kita amati saja. Trus coba-coba kita membuat seperti mereka,” ujarnya. Kemudian kita memodifikasinya. Yang perlu dijadikan catatan, adalah semua strategi yang dirancang, ujung-ujungnya mendorong orang untuk bersikap. Berani ambil tindakan. “Nah, di sinilah seninya pemasaran itu,” ujarnya memungkasi pelatihan. Kegiatan pelatihan pemasaran digital ini, menurut staf pengajar program studi Manajemen, Universitas Ma Chung Rony Joyo Negoro Octavianus sebagai bentuk dukungan program pengabdian kepada masyarakat. Dukungan bagi kawula muda Desa Kucur yang sedang berproses membangun unit usaha produksi kopi. “Saat ini, teman-teman sedang belajar memasarkan produk kopi hasil panen petani Desa Kucur. Tahapannya, sedang belajar memasarkan produk mereka. Nah, kita ingin dukung dalam bentuk pemasaran digital. Sehingga bisa memperluas jangkauan pemasaran produk mereka,” katanya. Sementara Ketua Kelompok Tani Republik Tani Mandiri (RTM) Suliantono menuturkan program pelatihan virtual ini, awalnya untuk membekali pengurus RTM. Namun juga mempertimbangkan jika program pemasaran virtual ini juga bagus bisa diikuti pelaku usaha lain. “Agar bisa menjangkau pasar lebih luas,” katanya. Hari menuju senja. Tampak generasi muda di desa itu, sedang menerbitkan perubahan menuju hidup lebih baik. *Naskah ini sudah dimuat di: https://www.terakota.id/generasi-muda-kaki-gunung-kawi-rintis-ekosistem-digital/